Berbicara Carok, maka yang timbul dibenak banyak orang adalah sebuah konotasi yang negative dan horror.
Carok selalu
identik dengan pembunuhan sadis, pertarungan senjata, duel hidup dan
mati atas nama kehormatan, pembunuhan dendam 7 turunan atau bisa jadi
pembantaian masal. Carok juga selalu sejajar dengan budaya suku Madura,
sebuah suku yang konon berwatak keras, temperamental dan arogan (meski
tidak semua demikian). Dalam banyak kasus, setiap pembunuhan yang
dilakukan oleh suku
Madura,
maka kata Carok akan selalu muncul. Yang paling mengerikan lagi, carok
selalu berdampingan dengan nama sebuah senjata yang disebut Are’=
Clurit. Dan yang paling dramatis justru setiap kejahatan, aksi
perampokan selalu identik dengan sanjata yg satu ini. Sungguh tragis
nasib si Clurit….Namun demikian, benarkah budaya ini berasal dari
Madura?...
Carok / Clurit Bentuk Perlawanan Rakyat Jelata
Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara
harfiah bahasa Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok
(dibantai/mutilasi…?). Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk
Clurit Emas dari
Sumenep,
Carok merupakan satu pembauran dari budaya yang tidak sepenuhnya asli
dari Madura. Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir
sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau
musyawarah dimana didalamnya terkandung makna mempertahankan harga
diri.
Carok juga selalu identik dengan pembunuhan 7 turunan atas nama kehormatan. Tembeng Pote Matah, Angoan Pote Tolang
(dari pada putih mata lebih baik putih tulang=dari pada menanggung
malu, lebih baik mati atau membunuh). Dendam yang mengatasnamakan Carok
ini bisa terus berlanjut hingga anak cucunya. Ibarat hutang darah
harus dibayar darah.
Carok juga dilakukan demi mempertahankan harga diri. Misalnya istri
diambil orang, maka carok merupakan putusan atau penyelesaian akhir
yang akan dilakukan. Mereka akan saling membunuh satu dengan yang lain.
Dan uniknya, bagi keluarga yang mengambil istri orang, maka jika dia
terbunuh, tak satupun keluarga korban akan menuntut balas pembunuhan
tersebut karena mereka memandang malu jika keluarganya sampai mengambil
istri orang. Namun sebaliknya, apabila yang terbunuh adalah pihak yang
punya istri, maka yang terjadi akan muncul dendam 7 turunan.
Pelaku Carok merupakan pelaku pembunuhan yang jantan atau sportif. Jika
mereka telah membunuh, maka ia akan datang ke kantor polisi dan
melaporkan dirinya bahwa ia telah membunuh orang. Hal tersebut
dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab pembunuh kepada masyarakat
sekaligus sebagai bentuk memohon perlindungan hukum. Meski beberapa
kasus juga kerap terjadi, mereka menyewa pembunuh bayaran untuk
membunuh lawannya, atau bias pula pelaku yang membunuh namun yang masuk
penjara adalah orang lain, istilahnya membeli hukuman. Tentunya hal
yang terakhir ini harus ada kompensasinya, yakni si pelaku harus
memeberikan semua biaya hidup pada keluarga orang yang telah bersedia
masuk penjara atas namanya.
Carok juga selalu identik dengan senjata Clurit. Sebuah senjata yang
pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak
mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide
(1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau
kyai Pragolbo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka hanya
mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya
prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang
didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel
hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang
dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada
masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura,
juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya (bukan
Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama
sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut.
Menurut R.Abdul Hamid, salah seorang keturunan dari Cakraningrat
menerangkan, bahwasannya budaya carok merupakan pengejawantahan yang
dilakukan oleh masyarakat madura yang dulunya masih banyak yang
memiliki pendidikan rendah. namun seiring perkembangan jaman, dimana
banyak guru2 impres yang datang ke madura, Carok pun mulai berkurang.
Hanya Calok yang disebutkan dalam babat Songenep. Calok sendiri
merupakan senjata Kek Lesap (1749) yang memberontak dan hampir
menguasai semua dataran Madura. Senjata Calok juka pernah dipakai
balatentara Ayothaya Siam dalam perang melawan kerajaan lain. Pada masa
itu yang popular berbentuk Calok Selaben dan Lancor. Konon senjata
Calok dibawa prajurit Madura ke Siam sebagai bagian dari bala bantuan
kerajaan Madura dalam pengamanan di tanah Siam.
Menurut Budayawan Celurit Emas D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki
filosophy yang cukup dalam. Dari bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa
dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu
ingin tahu.
Lantas bagaimana kisah sebenarnya?. Sejak kapan istilah Carok dan
Clurit ini dikenal? Hingga sekarang ini masih belum ada sebuah
penelitian yang menjurus pada kalimat yang berbau sangar ini. Yang
pasti, kalimat ini pertama kali dikenalkan pada masa pak Sakerah seorang
mandor tebu di bangil-pasuruan yang menentang ketidak adilan colonial
Belanda. Dengan senjata Clurit yang merupakan symbol perlawanan rakyat
jelata pada abat 18. Kompeni yang merasa jengkel dengan perlawanan Pak
sakerah kemudian menyewa centeng-centeng kaum Blater Madura untuk
menghadapi Pak. Sakerah. Namuni, tak satupun dari kaum blater tersebut
menang dari pak Sakerah. Yang jadi pertanyaan, benarkah pak sakerah
sangat pandai bermain jurus-jurus clurit?..tak ada satu sumberpun yang
bias menjawab pasti.
Sejak saat itu, perlawanan rakyat jelata dengan Clurit mulai dikenal
dan popular. Namun demikian, senjata Clurit masih belum memiliki disain
yang memadai sebagai alat pembunuh. Rakyat Pasuruan dan Bangil ketika
itu hanya memiliki senjata yang setiap harinya dugunakan untuk menyabit
rumput itu. Sehingga kepopuleran Clurit sebagai senjata perang rakyat
jelata makin tersebar. Karena itulah Propaganda Belanda untuk
menyudutkan pak Sakerah cukup berhasil dengan menggunakan dua istilah
yakni Carok dan Clurit.